Bayangin dong seandainya kamu adalah orang yang lemah iman seperti aku, yang solatnya belum bisa betul- betul khusyuk, kemudian pada waktu kamu akan melakukan sujud akhir, ada kecoa yang berjalan di atas tempat sujudmu dan itu tepat dilakukan si kecoa saat kamu bergerak ingin sujud.
Sudahkah kamu membayangkannya? Bahwasanya pada saat itu yang aku lakukan adalah menunggu hingga kecoa itu pergi. Kemudian benar dia pergi, begitu juga dengan usahaku untuk meng-khusyu'-kan solatku.
Awalnya aku berniat untuk segera mengaji setelah solat, haruskah aku memberitai kepada kamu bahwasanya aku melakukan itu setiap selesai solat maghrib? Aku rasa tidak perlu karena kata Haji Pidi Baiq, itu adalah riya'.
Iya, aku tidak mengaji kala itu karena setelah selesai solat aku langsung bergegas membereskan alat solat untuk segera mengejar kecoa itu dan menghabisinya. Tapi cara menghabisinya bukan dengan cara dimakan, bukan, yaitu dengan menyemprotkan racun serangga yang merk-nya tidak bisa aku sebutkan karena itu diawali dengan huruf b, diakhiri dengan huruf n, dan ditengahnya kira- kira ada 4 huruf yaitu a,y,g, dan o.
Aku semprot racun itu sampai si kecoa bergerak keluar dari persembunyiannya untuk kemudian aku semprotkan racun lagi tepat ke wajahnya dengan membabi buta hingga dia pun kelojotan bergerak cepat berlari berusaha mencari jalan keluar. Akhirnya aku bantu si kecoa untuk menemukan jalan keluar dengan langsung membawanya ke tempat peristirahatan terakhirnya, yaitu tempat sampah yang kemudian menimbulkan bunyi krasak krusuk karena si kecoa masih sekarat karena malaikat belum juga mencabut nyawanya.
Setelah itu aku tidak senang karena aku menang. Kenapa tidak senang? Karena itu mudah ketika aku harus berperang melawan kecoa, karena aku sering melakukannya, karena kecoa itu kan hewan yang tentu saja bukan tandinganku yang notabene adalah seorang yang kamu sebut manusia, karena iya kecoa itu kan kecil sedangkan aku ini bagai raksasa untuk mereka, jadi ini tidak sulit untuk bisa mempertahankan tempatku agar tidak menjadi sarang mereka.
Kemudian aku bertanya, apakah aku berdosa telah membunuh kecoa yang mana hal ini begitu sering aku lakukan, yang kalo diitung kira- kira jumlah kecoa yang aku bunuh mungkin saja sudah mencapai ribuan, oh mungkin terlalu banyak, ya mungkin ratusan. Pasnya aja lah, aku juga males ngitungnya.
Lalu aku merenung bagaimana jika aku adalah kecoa. Ah tapi aku tidak jadi merenungkannya karena iya, aku tidak ingin menjadi kecoa. Terus apa yang harus aku renungkan? Bahwasanya pertanyaan semacam itu, katamu Tuhan menciptakan semua hal yang pasti ada manfaatnya. Bagaimana dengan kecoa? Aku bertanya. Lalu kamu bilang iya, mungkin kecoa tidak bermanfaat untukku secara langsung tapi mereka mungkin bermanfaat untuk hewan lain yang mungkin bisa jadi ada hubungannya dengan kesehatan manusia, dan menurut kamu, para kecoa itu tentu saja bermanfaat dalam rantai makanan di kehidupan ini.
Mungkin, katamu.
Lalu aku juga punya hipotesis mengenai penyebab banyaknya kecoa dalam hidupku. Mungkin saja ini adalah konspirasi para penjual racun serangga. Mereka sengaja mengembangbiakkan macam- macam serangga pengganggu agar produknya laris terjual. Sama halnya seperti berita- berita mengenai kejadian bunuh diri dengan minum racun serangga, itu kan seolah sengaja untuk menginspirasi orang yang ingin bunuh diri. Terlebih saat ini, racun serangga tersedia dengan berbagai macam rasa.
Itu mungkin, kataku.
Segala kemungkinan tentu saja dapat dibenarkan karena itu bisa saja benar terjadi, bukan? Hanya saja ilmuku belum sampai kesana. Aku mah apa? Cuma butiran debu kata lirik lagu.
Setelah itu perenunganku berakhir karena pertarunganku dengan kecoa tadi itu membuat perutku lapar dan menyebabkan aku menjadi butuh uang saat aku ingat bahwa besok weekend. Waktunya main dan mengerjakan pekerjaan kosan, termasuk juga membunuh kecoa saat ia datang.
0 comments:
Post a Comment