Setuju gak Buybu bahwa komunikasi merupakan kunci dari setiap hubungan, yang gak Cuma hubungan antara kita dengan pasangan, tapi juga hubungan kita dengan siapapun.
Nah, saya mau cerita tentang permasalahan yang dialami teman saya terkait masalah komunikasi. Cerita tentang komunikasi yang buruk antara atasan dan bawahan (satu stel gitu haha). Miskomunikasi gitu. Miskomunikasi itu apa sih? Miskomunikasi adalah sama dengan salah paham.
Jujur aja, saya banyak belajar dari kasus teman saya ini (sebut saja dia Jennifer Lawrence, panggilannya Jeni), dan sebelum saya beritahu poin pembelajaran yang saya dapat, saya akan bercerita terlebih dahulu.
Nah, saya mau cerita tentang permasalahan yang dialami teman saya terkait masalah komunikasi. Cerita tentang komunikasi yang buruk antara atasan dan bawahan (satu stel gitu haha). Miskomunikasi gitu. Miskomunikasi itu apa sih? Miskomunikasi adalah sama dengan salah paham.
Jujur aja, saya banyak belajar dari kasus teman saya ini (sebut saja dia Jennifer Lawrence, panggilannya Jeni), dan sebelum saya beritahu poin pembelajaran yang saya dapat, saya akan bercerita terlebih dahulu.
Kenapa kecil?
Karena Jeni masih kerja dan berpenghasilan.
Berawal dari WFH
Jadi, saat ada pandemi, termasuk perusahaan tempat Jeni bekerja, menerapkan WFH (Work From Home) dan sebagaimana yang kita tau bahwa work from home itu bahasa Indonesianya adalah "kerja di rumah" atau "kerja dari rumah" atau "walau di rumah tetep kerja lho yaa".
Tapi sepertinya makna WFH di tempat Jeni bekerja ini berbeda, WFH itu artinya libur. Tidak dengan Jeni, ia tetap beranggapan bahwa WFH itu kerja di rumah.
"Halo Jeni, ini WFH-nya sudah diajukan, mau WFH full atau fleksibel?"
"Bedanya?"
"Kalau fleksibel, kalau diminta untuk masuk harus masuk"
"Oh yaudah fleksibel aja gak apa Pak"
Begitu kira- kira percakapan antara Jeni dengan atasannya (sebut saja dia Pak Osas, nama panjangnya Ufufwefwe Onyefwefwe Obwemubwem Osas).
Singkat kata, Jeni yang masih punya anak bayik usia genap setahun atau 12 bulan pun diberikan surat untuk menjalani WFH selama satu bulan dan akan terus diperpanjang jika masih wajib WFH.
Kesepakatan telah dibuat, surat telah ditandatangani, pun kodok tetap mencari makan di pinggir kali (apasi? Becanda aja Ami nih).
Tapi sepertinya makna WFH di tempat Jeni bekerja ini berbeda, WFH itu artinya libur. Tidak dengan Jeni, ia tetap beranggapan bahwa WFH itu kerja di rumah.
"Halo Jeni, ini WFH-nya sudah diajukan, mau WFH full atau fleksibel?"
"Bedanya?"
"Kalau fleksibel, kalau diminta untuk masuk harus masuk"
"Oh yaudah fleksibel aja gak apa Pak"
Begitu kira- kira percakapan antara Jeni dengan atasannya (sebut saja dia Pak Osas, nama panjangnya Ufufwefwe Onyefwefwe Obwemubwem Osas).
Singkat kata, Jeni yang masih punya anak bayik usia genap setahun atau 12 bulan pun diberikan surat untuk menjalani WFH selama satu bulan dan akan terus diperpanjang jika masih wajib WFH.
Kesepakatan telah dibuat, surat telah ditandatangani, pun kodok tetap mencari makan di pinggir kali (apasi? Becanda aja Ami nih).
Miskomunikasi Dimulai
Selama dua bulan WFH, Jeni gak pernah datang ke kantor padahal dirinya ingin sekali datang ke kantor tapi keadaannya tidak memungkinkan. Jeni pun menyampaikan maksud hati kepada suaminya.
"Mas, aku mau ngantor ih ga enak masa ga pernah dateng"
"Mas, aku mau ngantor ih ga enak masa ga pernah dateng"
Percakapan seperti itu sering terjadi selama dua bulan WFH. Sampai Jeni yang sering melaporkan pekerjaan ke atasannya pun berharap atasannya mau menegurnya atau sekedar mengingatkannya atau mungkin sekedar bertanya bagaimana keadaannya lalu berkata, bisa gak Jeni datang ke kantor?
Hingga Jeni pun akhirnya sengaja cuek karena semakin merasa invisible dan menunggu 'diakui'.
Namun sampai selama dua bulan, ternyata Jeni tidak mendapat pertanyaan seperti itu sedikit pun. Ya makin merasa gak penting aja lah si Jeni itu, padahal ia selalu mengerjakan semua tugas dan pekerjaan yang biasa dikerjakan sampai selesai.
Tegas dan Tega Tanpa Kompromi
Tiba- tiba tanpa pertanyaan, sapaan, apalagi pemberitahuan, Pak Osas pun mengajukan pemberhentian WFH bagi Jeni. Jeni terkejut karena atasannya selama ini diam saja namun tiba- tiba memperlakukannya begitu.
"Bukankah dia seorang atasan yang berhak menegur anak buahnya? Apa saya bukan anak buahnya?", pikir Jeni.
Jeni merasa sedih dan kesal, kenapa atasannya gak sedikitpun menghargainya walau hanya sekedar bertegur sapa dan memintanya datang ke kantor. Kalau atasannya mau menegur tentu saja Jeni akan dengan senang hati datang karena merasa dibutuhkan, tapi perilaku atasannya kali ini memperjelas semua yang udah pernah terjadi. Jeni pun merasa bahwa ini seperti puncak kekesalan Pak Osas yang selama ini hanya dipendam tanpa berani menegur Jeni secara langsung. Entahlah.
"Bukankah dia seorang atasan yang berhak menegur anak buahnya? Apa saya bukan anak buahnya?", pikir Jeni.
Jeni merasa sedih dan kesal, kenapa atasannya gak sedikitpun menghargainya walau hanya sekedar bertegur sapa dan memintanya datang ke kantor. Kalau atasannya mau menegur tentu saja Jeni akan dengan senang hati datang karena merasa dibutuhkan, tapi perilaku atasannya kali ini memperjelas semua yang udah pernah terjadi. Jeni pun merasa bahwa ini seperti puncak kekesalan Pak Osas yang selama ini hanya dipendam tanpa berani menegur Jeni secara langsung. Entahlah.
Sebelum Tragedi Miskomunikasi WFH
Sebelum kejadian WFH, Jeni sudah merasa bahwa Pak Osas berbeda. Padahal banyak sekali orang bilang kalau Pak Osas ini orang yang baik, tapi entah kenapa Jeni pun heran alasan Pak Osas bersikapnya diam- diam (cepirit) kepada Jeni?
Wahaha Ami becanda Jeniiiii🤭
Jadi, Jeni pernah ditegur oleh Pak Sarwoko (rekan kerja Jeni, bawahan deketnya Pak Osas), begini...
"Jen, jangan sering- sering keluar komplek ya Jen, kata Pak Osas Jeni nih terlalu sering keluar komplek"
"Iya sih, tapi Pak Osas sering ngeluh ke saya begitu"
"Ya Pak Osas kenapa sih gak langsung negur saya, kenapa malah ngomongin saya ke orang lain, paling gak nanya terus bantu kasih solusi kira- kira biar sama- sama enak gimana gitu Pak"
Setelah menerima omongan dari Pak Sarwoko, Jeni langsung menghadap Pak Osas untuk meminta maaf atas kelakuannya, tapi dari Pak Osas tidak ada ucapan tegas. Ada apa dengan Pak Osas? Kenapa beliau tidak mampu berkata- kata di depan Jeni?
Haha
Ajakan Perbaikan Komunikasi
Banyak omongan tentang Jeni di kantor karena Pak Osas suka bercerita tentang Jeni ke orang lain, tapi anehnya Pak Osas kalau di depan Jeni, beliau malah baik sekali dan bilang, "Saya itu malah gak mau kamu gila kerja dan menelantarkan anak".
Terkait WFH yang tiba- tiba distop, Jeni pun menghadap Pak Osas untuk tabayyun, konfirmasi dan menyampaikan segala uneg- unegnya.
"Pak Osas, sebelumnya saya minta maaf atas perilaku saya kemarin, tentang saya WFH yang gak pernah masuk, tapi apa pernah bapak tanya gimana keadaan saya waktu saya ga pernah masuk? Apa pernah bapak minta saya buat masuk supaya saya merasa saya dibutuhkan? Karena jujur aja selama ini saya merasa gak dianggap disini"
Terkait WFH yang tiba- tiba distop, Jeni pun menghadap Pak Osas untuk tabayyun, konfirmasi dan menyampaikan segala uneg- unegnya.
"Pak Osas, sebelumnya saya minta maaf atas perilaku saya kemarin, tentang saya WFH yang gak pernah masuk, tapi apa pernah bapak tanya gimana keadaan saya waktu saya ga pernah masuk? Apa pernah bapak minta saya buat masuk supaya saya merasa saya dibutuhkan? Karena jujur aja selama ini saya merasa gak dianggap disini"
"Oh jadi nunggu disuruh dateng? Hehe ya kan ga perlu diminta masuk kantor harusnya ada inisiatif sendiri dong, yang lain aja WFH tetep masuk kok, masa kamu doang yang enggak", kata Pak Osas sambil tersenyum kecut
"Ya kalo saya apa- apa harus inisiatif sendiri saya harusnya jadi menejer Pak. Bapak merasa gak sih? Bapak kalo ada apa- apa sama saya, Bapak selalu membicarakan saya dengan orang lain, bukan langsung menegur saya, terus Bapak juga gak nanya saya di rumah gimana? Kan saya di rumah juga kerja Pak, yang lain kan karena gak bisa dikerjain di rumah jadinya masuk", kata Jeni sambil menceritakan tentang Pak Sarwoko yang menegur dirinya karena keluhan Pak Osas.
"Ya saya gak cerita ke orang lain kok, saya cuma cerita ke rekan di sini dan ke bagian HRD", tampik Pak Osas.
"Ya Allah, ya sama aja Pak, Bapak kan punya masalah sama saya ya bilang langsung ke saya, saya ini kan bawahan Bapak, anak buah Bapak juga, karyawan biasa yang bisa salah, saya juga seorang Ibu baru, saya pengen juga kalo salah ditegor, diingatkan, langsung ke saya jangan ke orang lain. Saya pun taunya dari orang lain, gak enak didengernya Pak", Jeni berkata.
"Ya, saya akui itu memang kekurangan saya, saya gak tega kalau menegur ibu yang punya bayi", kata Pak Osas.
"Tapi Bapak tega diam- diam gak pake negur tiba- tiba nyetop WFH saya, itu lebih tega sih Pak. Kalo aja komunikasi antara Bapak dan saya baik, pasti gak akan kayak gini, Bapak kesel saya lebih kesel", ucap Jeni kesal bin sebal.
"Ya Covid ini kan memang memberi dampak buat banyak orang, harusnya kita bersyukur masih diberi pekerjaan bla bla bla", kata Pak Osas malah ceramah
"Yaudah maaf nih Pak saya mah minta mulai sekarang kita perbaiki komunikasi kita, saling terbuka, Bapak langsung tegur saya kalo ada apa- apa, jangan ngomongin saya ke orang lain walau itu HRD atau Pak Sarwoko. Kan kemarin bisa kayak gitu karena antara Bapak dan saya saling tunggu, gak ada komunikasi, Bapak nunggu saya inisiatif, saya pun nunggu Bapak peduli dengan saya karena saya merasa ga dianggep di sini Pak"
Jeni pun lega telah terbuka dan menyampaikan uneg- uneg.
Tidak Ada yang Berubah, Sudah Sifat Bawaan kah?
Hari berlalu, minggu berganti bulan. Pada kenyataannya, tidak ada yang berubah dengan sikap Pak Osas terhadap Jeni.
Pak Osas tetap ambil kesimpulan sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu, Pak Osas tetap tidak mau menegur Jeni secara langsung, tetap berbicara dengan Pak Sarwoko.
Pak Osas tetap ambil kesimpulan sendiri tanpa bertanya terlebih dahulu, Pak Osas tetap tidak mau menegur Jeni secara langsung, tetap berbicara dengan Pak Sarwoko.
"Percuma dong kemaren ngajak komunikasi terbuka sampe mulut berbusa", kata Jeni dalam hati.
Alih alih berusaha bisa memenej bawahannya, Pak Osas malah mengeluh ke orang lain tentang perilaku bawahannya, padahal Pak Osas punya wewenang sendiri untuk menegur dan mengatur bawahan. Pun sama yang diajak ngeluh Pak Osas, apa ada yang menyarankan untuk langsung menegur Jeni? Sepertinya tidak ada. Tidak ada yang sebijaksana itu. Pikir Jeni.
Hilangnya Respect dan Timbul Rasa Tidak Nyaman
Semenjak itu, walau masih bekerja di bagian yang sama, namun entah kenapa Jeni merasakan respect terhadap Pak Osas semakin berkurang, karena pada kenyataannya kejadian miskomunikasi terus menerus berulang.
Jeni berusaha selalu introspeksi, barangkali memang Jeni yang salah, Jeni mulai meningkatkan performa kerja, tidak ijin, setiap hari masuk tanpa keluar, bahkan bekerja hingga maghrib menjelang, namun beberapa bulan begitu tetap tidak ada yang berubah. Pak Osas tetap saja seperti tidak menghargai keberadaan Jeni.
Misalnya begini, Pak Osas bilang ke Jeni bahwa beliau mengijinkan Jeni kalau ingin pindah ke divisi lain, namun atasan di divisi lain bilang ke Jeni bahwa Pak Osas tidak mengijinkan Jeni dipindahkan.
Sekarang hal yang bisa dilakukan Jeni adalah diam, tetap bekerja walau tidak dihargai, tetap berusaha menghormati atasan yang jauh lebih tua, dan kalau ada orang lain yang bertanya "Bagaimana di unitmu Jen? Enak ya Pak Osas mah baik ya?", maka Jeni akan tetap menjawab, “Iya baik”, hanya karena Jeni paham reputasi Pak Osas di mata orang- orang.
Satu hal yang tidak ingin mengganggu pikiran Jeni adalah jangan sampai Jeni menjadi korban gaslighting dan merasa jadi orang paling bersalah, karena pada dasarnya ditegur atasan itu biasa, dan sifat orang tentu berbeda- beda.
Kesimpulan
So, sampai sini dulu ceritanya, untuk poin penting dan pembelajaran apa aja yang Ami dapet dari cerita Jeni, akan Ami sampaikan di tulisan berikutnya, barangkali Buybu ada yang mau berpendapat atau sudah bisa ambil kesimpulannya? 😊
0 comments:
Post a Comment