Nonton bioskop itu seru, apalagi saat lampunya mati dan kamu mulai pura- pura panik karena kamu pikir itu mati lampu saat melihat ruangannya tiba tiba jadi gelap. Lalu kamu jadi pengen pura- pura kabur keluar dari studio itu buat beli lilin ama korek, tapi sayangnya temen kamu udah tau kalo kamu cuma acting. Jadi ekspresi dia cuma yang ngelirik datar aja gitu ngeliat kelakuan kamu.
Akhirnya kamu gak jadi kabur, kamu duduk lah itu di bioskop dengan tidak tenang tenang amat karena sebenernya kamu gak pengen nonton film yang ini. Tapi apa boleh buat, kamu harusnya senang karena ditraktir teman yang demi neraktir kamu, dia rela pura- pura ulang tahun. Iya, dia sampe rela umurnya menua lebih cepet kan?
Ini dia film yang digadang- gadangkan temen saya bakalan bikin penontonnya nangis.
Ternyata filmnya gagal bikin saya menangis, sedangkan temen saya menangis. Saya bilang dia cengeng. Dia bilang saya jaim. Mungkin kata- kata itu bisa diubah ke arah yang lebih positif, misalnya kata cengeng diganti dengan hati yang lembut dan kata jaim diganti dengan hati yang setrong.
Positif toh?
Filmnya sih bagus, mengingatkan saya tentang kisah si akang dan si eneng. Manis. Namun bumbu manis gak cukup untuk bikin film itu lebih hidup. Oh iya, bumbu konflik dan semua adegan sarat makna itulah yang harusnya bisa membuka mata, hati, pikiran kita tentang hidup.
Bapak yang meninggal diserang kanker itu diperankan oleh seorang aktor tampan yang bikin filmnya jadi enak diliat. Haha. Tapi walaupun Bapak telah tiada, beliau mampu untuk terus mengajarkan anak- anaknya (yang juga tampan) tentang hidup. Inti dari pelajaran yang ditekankan si Bapak yang ceritanya lulusan ITB ini adalah hidup itu harus punya rencana ke depan, rencana, rencana, dan rencana karena hidup hanya sekali dan waktu yang terbuang gak bisa kembali.
Untuk yang satu ini, terserah kamu mau setuju atau enggak. Kalo kamu tanya pendapat saya, menurut saya film ini terlalu perfeksionis kalau hidup harus melulu terencana, walau memang iya manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang menentukan. Tapi biasanya hal yang kau rencanakan adalah doa untuk hidupmu ke depannya, ya, itulah kekuatan pikiran. Makanya bisa keliatan kan perbedaan orang yang hidupnya punya tujuan dengan orang yang tidak punya tujuan dalam hidupnya.
Back to the movie..
Bumbu lucunya film ini lah yang paling asik menurut saya. Oh lihatlah bagaimana saya tertawa saat adegan lucu itu berlangsung. Bagaimana dengan teman saya? Entahlah, mungkin dia masih menangis atau ketawa juga ya? Atau jangan jangan dia udah pulang duluan? Lupa ih, saya yang tadinya gak mau nonton film ini, jadinya malah hampir gak tengok kanan kiri pas nonton.
Kebanyakan pelajaran yang ada di film ini sih buat cowok- cowok sih ya, soalnya kan anaknya si Bapak ini kan cowok semua. Beberapa ada lah yaa pelajaran buat yang ceweknya.
Film ini sesungguhnya berasal dari novel yang udah dibaca ama temen saya itu karena itulah salah satu alasan dia ngajak nonton film nyang ini. Filmnya memang ringan banget, drama ringan tapi sarat makna. Sedikit membuka mata hati pikiran, tapi ya namanya juga hidayah kan gak semua orang bisa dapet. Apalagi majalah hidayah sekarang udah mahal.
Disini saya bukan mau jualan majalah sih, bukan juga mau ngiklanin film, tapi ya bolehlah sesekali kamu juga harus nonton film Indonesia, kadang orang kita suka males kan nonton film dari negara sendiri. Kayak saya ini.
Kan saya udah bilang, yang saya tulis memang kebanyakan adalah nasehat buat diri saya sendiri. Lupa ya
Yakin sis setrong?
ReplyDelete@sayyidskiy banci mewek haha :p
ReplyDelete